Rabu, 19 Oktober 2011

Benteng Madang



Benteng Madang
Jika anda jalan-jalan ke kecamatan Padang Batung sebalah utara akan bertemu dengan sebuah desa yang bernama Madang dengan dataran cukup tinggi menyerupai sebuah gunung. Dataran tinggi tersebut kemudian di tata dan dibuat oleh Tumenggung Antaluddin atas permintaan dari Pangeran Hidayatullah dan Demang Lehman kemudian dijadikan benteng pertahanan pasukan Pangeran Hidayatullah dan Demang Lehman dalam menghadapi serangan serdadu Belanda.
Tercatat ada lima kali serangan yang dilakukan oleh serdadu belanda dan semuanya dapat dikalahkan oleh pasukan Pangeran Hadayatullah dan Demang Lehman. Serangan-serangan serdadu Belanda dilakukan pada tanggal 3,4,13,18 dan 22 september 1860. Pada serangan yang keempat tanggal 18 September 1860, pasukan infantry serdadu bgelanda yang dipimpin oleh Kapten Koch dihajar habis-habisan oleh pasukan Pangeran Hidayatullah dan Demang lehman, sehingga banyak serdadu Belanda yang tewas termasuk Kapten Koch.



Saat ini Benteng Madang telah ditata dan direnovasi oleh Pemda HSS dengan anak tangga lebih dari 400 buah dan dapat dijelajahi dengan menggunakan mobil dengan jarak ± 8 Km dari Kota Kandangan.
Riwayat Benteng Madang
Tumenggung Antaluddin adalah seorang panglima perang dalam Perang Banjar dengan pusat perjuangan di kawasan Gunung Madang di kabupaten Hulu Sungai Selatan, Kalimantan Selatan.
Pada masa itu Pangeran Hidayatullah dan Demang Lehman meminta kepada Tumenggung Antaluddin untuk membuat benteng pertahanan di Gunung Madang. Pasukan Pangeran Hidayatullah, Demang Lehman dan pasukan Tumenggung Antaluddin terkumpul di sekitar benteng ini pada bulan September 1860.
Pertempuran Gunung Madang 3 September 1860.
Persiapan benteng pertahanan di Gunung Madang ini diketahui oleh Belanda sehingga datanglah serangan pasukan Belanda secara mendadak pada 3 September 1860, sementara benteng belum selesai dibangun. Serdadu Belanda menyelusuri kampung Karang Jawa dan Ambarai dan langsung menuju Gunung Madang. Serdadu Belanda terkejut, ketika baru mendekati bukit itu serangan mendadak menyebabkan beberapa serdadu Belanda tewas. Sekali lagi serdadu Belanda mendekati bukit tetapi sebelum sampai serangan gencar menyambutnya, sehingga tentara Belanda mundur kembali ke benteng Amawang.
Pertempuran Gunung Madang 4 September 1860
Keesokan harinya tanggal 4 September 1860 pasukan infantri dari batalyon ke-13 mengadakan serangan kedua kalinya. Serdadu Belanda ini dilengkapi dengan mortir dan berpuluh-puluh orang perantaian untuk membawa perlengkapan perang dan dijadikannya umpan dalam pertempuran. Serdadu Belanda melemparkan 3 biji granat tetapi tidak berbunyi, dan disambut dengan tembakan dari dalam benteng Gunung Madang. Di dalam benteng Gunung Madang terdapat pula beberapa orang perantaian yang lari memihak pasukan Pangeran Hidayatullah ketika terjadi pertempuran di Pantai Hambawang yang terjadi sebelumnya. Ketika Letnan de Brauw dan Sersan de Vries menaiki kaki Gunung Madang, dia hanya diikuti serdadu bangsa Eropah sedangkan serdadu bangsa bumiputera membangkang tidak ikut bertempur Letnan de Brauw kena tembak di pahanya, dan 9 orang serdadu Eropah terkapar kena tembak dari arah dalam benteng. Setelah Letnan de Brauw kena tembak, serdadu Belanda mundur dan kembali ke benteng di Amawang. Serangan ketiga dilakukan beberapa hari kemudian setelah Belanda memperoleh bantuan dari Banjarmasin dan Amuntai.
Pertempuran Gunung Madang 13 September 1860.
Pada tanggal 13 September 1860 Belanda melakukan kembali serangannya terhadap benteng Gunung Madang. Serangan ini dipimpin oleh Kapten Koch dengan perlengkapan meriam dan mortir. Demang Lehman dan Tumenggung Antaluddin mempersiapkan menunggu serangan Belanda sedangkan Pangeran Hidayatullah mengatur strategi untuk menghadapinya. Pertempuran ini terjadi dalam jarak dekat, tetapi Demang Lehman dan Tumenggung Antaluddin dengan gagah berani menghadapinya. Ketika bunyi senapan dan meriam bergema, tiba-tiba roda meriamnya hancur kena tembakan. Kapten Koch mempertimbangkan untuk mundur kembali ke benteng Amawang. Kegagalan serangan Kapten Koch ini tersebar sampai ke Banjarmasin, sehingga G.M. Verspyck memerintahkan Mayor Schuak menyiapkan pasukan infantri dari batalyon ke 13 yang terdiri dari 91 opsir bangsa Eropah.
Pertempuran Gunung Madang 18 September 1860
Pada tanggal 18 September 1860 Mayor Schuak membawa pasukan dengan dibantu Kapten Koch menyerang Gunung Madang. Belanda membawa sebuah howitser, sebuah meriam berat dan mortir. Menjelang pukul 11.00 siang hari Demang Lehman memulai menyambut serdadu Belanda dengan tembakan. G.M. Verspyck yang berani mendekati benteng dengan pasukannya, kena tembak oleh anak buah Tumenggung Antaluddin, akhirnya mengundurkan diri membawa korban. Selanjutnya Kapten Koch memerintahkan memajukan meriam. Dengan jitu peluru mengenai serdadu pembawa meriam itu, dan jatuh terguling. Setelah pasukan meriam gagal, dilanjutkan dengan pasukan infantri mendapat giliran maju. Kapten Koch yang memimpin pasukan infantri maju, kena tembak di dadanya dan jatuh tersungkur. Dengan jatuhnya Kapten Koch tersebut serdadu Belanda menjadi bingung dan kehilangan komando. Mereka dengan bergegas menggotong mayat Koch dan berlari meninggalkan medan pertempuran, langsung mengundurkan diri kembali ke benteng Amawang. Setelah serangan keempat ini gagal, Belanda mempersiapkan kembali untuk penyerangan yang kelima Demang Lehman dan Tumenggung Antaluddin juga mempersiapkan siasat apa yang diambil untuk menghadapi serangan secara besar-besaran keluar dan tidak terpusat bertahan dalam benteng saja. Demang Lehman mendapat bantuan dari Kiai Cakra Wati pejuang wanita yang selalu menunggang kuda yang berasal dari daerah Gunung Pamaton (Distrik Riam Kanan).
Pertempuran Gunung Madang 22 September 1860
Serangan kelima terjadi pada tanggal 22 September 1860. Belanda mempersiapkan dengan teliti, belajar dari kegagalan empat kali penyerangannya. Belanda mempersiapkan mendirikan bivak-bivak dan perlindungan pasukan penembak meriam dengan sistem pengepungan benteng Gunung Madang. Pertempuran baru terjadi keesokan harinya dengan tembakan meriam dan lemparan granat. Pada pagi hari itu pertempuran tidak begitu seru, tetapi menjelang pukul 11.00 malam hari, tiba-tiba Demang Lehman dan Tumenggung Antaluddin mengadakan serangan besar-besaran dengan meriam dan senapan. Tembakan itu terus menerus bersahutan sampai menjelang subuh. Karena serangan yang gencar itu Belanda kehilangan komando apalagi malam hari yang gelap gulita. Pasukan Belanda kocar-kacir. Situasi yang tegang ini dipergunakan Demang Lehman dan Tumenggung Antaluddin beserta pasukannya keluar benteng dan menyebar keluar meninggalkan benteng, dan selanjutnya berpencar. Kiai Cakrawati meneruskan perjalanan ke Gunung Pamaton yang kemudian terlibat pula dalam pertempuran di Gunung Pamaton. Alangkah kecewanya Belanda ketika dengan hati-hati memasuki benteng untuk menghancurkan kekuatan Demang Lehman dan pasukannya ternyata benteng sudah kosong, hanya ditemukan satu orang mayat yang ditinggalkan.


BENTENG MADANG

Pangeran Antasari mencetuskan Perang Banjar (Belanda menyebutnya Banjarmasinsche Krijg, Perang Banjarmasin) pada tanggal 28 April 1859. Berbekal 3000 orang pasukan Antasari menyerang benteng Belanda di Pengaron. Sehari kemudian, 29 April 1859, tambang batu bara Oranye Nassau diserbu. Sementara pengepungan berlangsung, tanggal 1 Mei 1859, pasukan Antasari menyerang tambang batu baru Juliana Hermina.
Dukungan terhadap Perang Banjar semakin meluas, terlebih setelah Pangeran Hidayat menggabungkan diri. Para pahlawan dan pemimpin rakyat sama angkat senjata. Demang Lehman di Martapura. Tumenggung Surapati di Muara Teweh. Tumenggung Jalil di Amuntai. Penghulu Rasyid di Kelua. Tumenggung Naro di Baruh Bahino. Buyasin di Tanah Laut. Panglima Batur di Marabahan. Sambang atau Sultan Kuning di Rantau. Tumenggung Antaluddin di Kandangan.
Akhir bulan Desember 1859, Tumenggung Antaluddin bersama dengan Demang Lehman, Pangeran Aminullah, Kusin dan Ali Akbar, mempertahankan Benteng Munggu Tajur dan berhasil memukul mundur pasukan Belanda. Belanda datang lagi dengan persenjataan yang lebih lengkap, termasuk meriam-meriam besar, mengepung Benteng Munggu Tajur dari tiga jurusan. Setelah melewati pertempuran sengit, Tumenggung Antaluddin dan kawan-kawan terpaksa meninggalkan benteng. Benteng Munggu Tajur pun dibakar Belanda.
Tanggal 28 April 1860, malam hari, di Benteng Patigan, dalam rangka peringatan setahun berkobarnya Perang Banjar, diadakan api unggun. Hadir di situ Pangeran Hidayat, Pangeran Antasari, Tumenggung Antaluddin, Demang Lehman, Tumenggung Jalil, dan beberapa pemimpin perlawanan di daerah Hulu Sungai lainnya. Dalam pertemuan tersebut diangkat dan ditetapkan para Tumenggung, Demang, Penghulu, Kiai dan Pambakal. Kepada masing-masing orang diserahkan surat bertulisan Arab-Melayu di atas lempengan timah hitam dan dibubuhi cap Kerajaan Banjar. Hasil lainnya adalah keputusan untuk memperkuat benteng yang ada dan mendirikan benteng-benteng baru dan gardu-gardu pertahanan.
Tak lama setelah itu, Tumenggung Antaluddin dan Sambang mempertahankan Benteng Tambai Mekah di dekat Tambarangan. Empat kali Belanda menyerang baru berhasil menguasai dan membakar benteng. Sambang terluka parah, tetapi berhasil menyelamatkan diri, baru dapat ditangkap Belanda tahun 1863. Sementara itu Tumenggung Antaluddin diperintahkan untuk mendirikan sebuah benteng di Kandangan.
Dalam waktu yang tidak terlalu lama berdirilah sebuah benteng di puncak bukit yang dikenal sebagai Gunung Madang, sekitar 4 km dari Kandangan. Benteng Madang dibangun dengan menggunakan 7 lapis batang kayu madang yang terdapat di sekitar tempat itu. Luas bangunannya sekitar 400 meter persegi, berbentuk bundar, bertingkat dua. Tingkat atas digunakan sebagai tempat pengintaian sekaligus tempat pasukan bersenjata api, termasuk 3 pucuk meriam lila.
Pada pinggir puncak bagian selatan dan utara bersusun batu-batu besar, tempat pertahanan bagian bawah yang juga dipersenjatai dengan 3 pucuk meriam lila. Di bagian barat atau belakang benteng terdapat hutan bambu yang cukup lebat sehingga menjadi pagar hidup. Bagian timur, lerengnya merupakan jalan menuju benteng. Jalan itu sengaja dibersihkan dari pepohonan dan semak-semak, sebab di depan pintu benteng ada tumpukan kayu-kayu gelondongan yang dapat digulingkan jika serdadu Belanda mencoba naik.
Alat pertahanan lainnya adalah berupa jembatan-jembatan palsu, terbuat dari kayu-kayu gelondongan. Jika diinjak jembatan akan berguling. Orang yang tidak waspada akan kehilangan keseimbangan, tercebur ke sungai dan disambut oleh sungga, yaitu batangan besi runcing yang tersimpan di bawah permukaan air. Pada beberapa bagian pinggiran sungai juga terpasang sungga, menahan orang yang menyeberang dengan berenang atau naik perahu. Di bentangan padang ilalang terdapat juga lubang-lubang jebakan yang di dalamnya berisi sungga. Selain itu ada juga jalan rahasia di bawah tanah, jalan yang merupakan keluar-masuk pasukan penyergap.
Dari Benteng Madang itulah dikirim kelompok-kelompok laskar untuk melakukan penyergapan terhadap pasukan Belanda, terutama terhadap pasukan patroli. Penyergapan-penyergapan yang mendatangkan banyak korban membuat Belanda melakukan penyelidikan intensif terhadap pusat pasukan Antaluddin.
Keberadaan Benteng Madang akhirnya diketahui Belanda akibat pengkhianatan seorang wanita pedagang yang biasa membawa barang dagangan ke benteng. Belanda pun segera mempersiapkan pasukan untuk menyerbu Benteng Madang.
Tanggal 3 September 1860, Belanda memberangkatkan pasukan dari benteng mereka di Hamawang. Pasukan bergerak melewati daerah Karang Jawa dan Ambarai. Sebelum mencapai Benteng Madang, beberapa orang serdadu sudah menjadi korban, saat melewati jembatan Serongga, mati dengan tubuh tertancap ke sungga. Pertempuran terjadi di kaki Gunung Madang. Banyak korban di pihak Belanda sehingga mereka memutuskan untuk mengundurkan diri.
Serangan ke Benteng Madang diulang lagi pada hari-hari berikutnya, tapi selalu gagal. Medan yang ada dan keperkasaan Laskar Madang membuat benteng sukar untuk ditaklukkan. Belanda pun menambah kekuatan penyerangan. Serangan dilakukan lagi pada tanggal 13 September 1860, dipimpin oleh Letnan de Brauw dan Sersan de Vries. Benteng Madang diserbu dari arah muka dan belakang.
Tumenggung Antaluddin dan Laskar Madang bertempur dengan gigih. Setelah melewati pertempuran sengit, pasukan Belanda kembali dipukul mundur. Sersan de Vries tewas. Letnan de Brauw luka-luka, kena tembak di pahanya.
Rentetan kekalahan dan kegagalan menaklukkan Benteng Madang tersebut kemudian membuat Belanda mengerahkan segenap kekuatan yang ada di Benteng Hamawang. Kapten Koch memimpin langsung pasukan. Tanggal 18 September 1860, pasukan Belanda menyerbu Benteng Madang. Kali ini lengkap dengan meriam-meriam besar beroda. Pertempuran hebat berkobar, hampir sehari penuh. Menjelang senja, pasukan Belanda akhirnya berhasil dipukul mundur. Bahkan Kapten Koch tewas di Madang.
Akibat pertempuran itu Benteng Madang rusak berat. Laskar Madang juga banyak yang gugur. Salah satu di antaranya adalah Kiai Cakrawati, tertembak di matanya. Kiai Cakrawati bersama istrinya Galuh Sarinah datang membawa pasukan untuk membantu Antaluddin dari garis pertahanan Pagar Haur. Agar jangan melemahkan semangat tempur pasukan, sesaat setelah kematian suaminya, Galuh Sarinah mengenakan pakaian Kiai Cakrawati, terus bertempur memimpin pasukannya. Sejak itu Galuh Sarinah terus mengenakan pakaian laki-laki dan menyebut dirinya sebagai Kiai Cakrawati.
Sementara itu, menyadari kekuatan Benteng Madang, Belanda mendatangkan pasukan dari benteng mereka di Barabai dan Amuntai. Mereka mendatangkan juga pasukan dari Batalyon 13 Banjarmasin yang dipimpin oleh Mayor Schuak (orang Hulu Sungai biasa menyebut Mayor Schuak dengan sebutan Mayor Sahak). Mayor Schuak mempersiapkan serangan besar-besaran ke Benteng Madang.
Kabar persiapan serangan besar-besaran Belanda sudah didengar oleh Tumenggung Antaluddin. Menyikapi keadaan tersebut, ditambah keadaan Benteng Madang yang belum sempat diperbaiki, Tumenggung Antaluddin mengadakan musyawarah dengan para pimpinan Laskar Madang. Bertolak dari berbagai pertimbangan maka diputuskan untuk meninggalkan Benteng Madang, meneruskan perjuangan dengan menggabungkan diri ke benteng-benteng lain. Dasar pertimbangan yang mengemuka saat itu adalah : jika Laskar Madang habis berguguran dalam mempertahankan benteng maka perlawanan terhadap Belanda di kawasan Amandit khususnya dan di kawasan Hulu Sungai umumnya akan melemah. Hal itu akan membuat Belanda dapat memusatkan perhatian untuk menggempur pasukan Pangeran Antasari dan Pangeran Hidayat yang tengah berjuang di daerah lain. Pemikiran tentang kesinambungan perjuangan tersebut akhirnya memunculkan keputusan untuk mengorbankan sebuah benteng daripada Belanda mendapatkan banyak kemudahan untuk memadamkan Perang Banjar.
Maka Laskar Madang pun dibagi menjadi tiga bagian. Dua bagian meninggalkan benteng dengan mengambil jalan berbeda, sebagian menuju arah utara sedang sebagian lain menuju arah selatan. Pasukan bagian ketiga tetap bertahan di dalam benteng, bertempur sembari memberi waktu kepada pasukan yang meninggalkan benteng untuk menjauh. Pasukan di Benteng Madang ini nantinya secara bertahap juga akan meninggalkan benteng melalui jalan rahasia.
Di pihak Belanda, Mayor Schuak juga mengambil siasat yang berbeda. Kalau sebelumnya serangan dilakukan pada siang hari maka kali ini serangan akan dilaksanakan pada malam hari. Maka pada tanggal 18 September 1860 pasukan Belanda meluruk ke Benteng Madang dari empat jurusan.
Menjelang tengah malam, komando penyerbuan diberikan oleh Mayor Schuak. Serangan Belanda itu disambut oleh sisa Laskar Madang yang berada dalam benteng. Pertempuran pun berkobar hingga subuh.
Dalam upaya mengacaukan konsentrasi Laskar Madang yang bertahan di benteng, Belanda menembakkan meriam berisi uang logam. Diharapkan Laskar Madang yang bertahan di benteng akan meninggalkan posnya dan berebutan mengambili uang yang berhamburan sehingga pasukan Belanda punya peluang untuk mendekati Benteng Madang.
Ketika pagi tiba, tak terdengar lagi tembakan balasan dari dalam benteng. Belanda mengira siasatnya berhasil. Mereka pun segera menyerbu menaiki gunung, menghancur-kan pintu benteng. Betapa terkejutnya Mayor Schuak saat mendapati Benteng Madang dalam keadaan kosong. Di situ cuma ditemukan mayat seorang laskar. Tumenggung Antaluddin telah membawa sisa pasukannya meninggalkan benteng, sesuai dengan siasat yang telah disusun.
Penuh rasa marah Mayor Schuak memerintahkan serdadunya untuk membakar Benteng Madang. Benteng Madang pun tak lagi bersisa, hangus menjadi abu yang diterbangkan angin.
Tumenggung Antaluddin bergerak menyusur kawasan Pegunungan Meratus, kemudian bermarkas di Gunung Panginangan Ratu. Mereka terus melakukan berbagai gangguan terhadap Belanda.
Tanggal 21 April 1861, pasukan Antaluddin bersama dengan pasukan Demang Lehman, menyerbu Benteng Hamawang. Pasukan kemudian ditarik mundur karena datangnya pasukan bantuan Belanda yang masuk lewat Simpur.
Di bulan Agustus 1861, pasukan Antaluddin bersama pasukan Kiai Cakrawati (Galuh Sarinah) dan Kiai Raksapati terlibat pertempuran dengan Belanda di Gunung Pamaton dan Gunung Halau-Halau.
Setelah Pangeran Antasari meninggal karena sakit pada tanggal 11 Oktober 1862, Tumenggung Antaluddin memutuskan untuk bermukim di Gunung Panginangan Ratu.



1 komentar:

  1. Saya dukung pelestarian khazanah cerita rakyat kandangan, hulu sungai selatan, kalimantan selatan seperti datuk panglima hamandit, datung suhit dan datu makandang, datu ramanggala di ida manggala, datu rampai dan datu parang di baru sungai raya, datu ulin dan asal mula kampung ulin, datu sangka di papagaran, datu putih dan datu karamuji di banyu barau, legenda batu laki dan batu bini di padang batung, legenda gunung batu bangkai loksado, legenda datu ayuh/sindayuhan dan datu intingan/bambang basiwara di loksado, kisah datu ning bulang di hantarukung, datu durabo di kalumpang, datu baritu taun dan datu patinggi di telaga langsat,legenda batu manggu masak mandin tangkaramin di malinau, kisah telaga bidadari di hamalau, kisah gunung kasiangan di simpur, kisah datu kandangan dan datu kartamina, datu hamawang dan sejarah mesjid quba, tumenggung antaludin mempertahankan benteng gunung madang, panglima bukhari dan perang amuk hantarukung di simpur, datu naga ningkurungan luk sinaga di lukloa, datu singa karsa dan datu ali ahmad di pandai, datu buasan dan datu singa jaya di hamparaya, datu haji muhammad rais di bamban, sejarah mesjid ba angkat di wasah, dakwah penyebaran agama islam datu taniran, datu balimau dan habib lumpangi, kubur enam pahlawan di ta’al, kuburan tumpang talu di parincahan, pahlawan wanita aluh idut di tinggiran, panglima dambung di padang batung, gerombolan pemberontak ibnu hajar, sampai cerita tentang perang kemerdekaan Divisi IV ALRI yang dipimpin Brigjen H. Hasan Basri dan pembacaan teks proklamasinya di Kandangan. Semuanya adalah salah satu aset budaya dan sejarah bagi Kalimantan Selatan.

    BalasHapus