Kamis, 13 Oktober 2011

Mesjid su'ada(Mesjid Baangkat)

Mesjid Sua'ada/ Mesjid Baangkat

Foto Mesjid Baangkat

Mesjid Su’ada atau Mesjid baangkat didirikan oleh Al Allamah Syekh H. Abbas dan Al Allamah Syekh H. Said bin Al Allamah Syekh H. Sa’dudin pada tanggal 28 Zulhijjah 1328 H bersamaan dengan tahun 1908 M yang terletak di desa Wasah Hilir Kecamatan Simpur, Kabupaten Hulu Sungai Selatan, kurang lebih 8 km dari kota Kandangan. Masjid ini didirikan di atas tanah wakaf milik Mirun bin Udin dan Asmail bin Abdullah seluas 1047,25 m persegi.
Masjid Su’ada terletak di Jalan Musyawarah, Desa Wasah Hilir,. Ada beberapa versi mengenai asal-usul nama masjid ini. Versi pertama menyatakan bahwa nama Su’ada diambil dari nama salah seorang pendiri masjid ini, yaitu Sa’id (H.M. Sa’id bin H. Mayasin). Sedangkan, versi yang lainnya menyebutkan bahwa nama Su’ada berasal dari kata Arab “syuhada” yang berarti orang yang gugur dalam menegakkan agama Islam. Lepas dari kedua versi tersebut, saat ini Masjid Su’ada lebih populer disebut Masjid Baangkat, lantaran lantainya yang berada di atas tanah seperti konsep rumah tradisional masyarakat Banjar pada umumnya yang berbentuk panggung.
Masjid yang berukuran sekitar 1.047 meter persegi ini didirikan oleh Syeikh H. Abbas dan Syeik H.M Sa’id bin H. Mayasin. Keduanya adalah keturunan dari Syeikh H. Muhammad Arsyad al Banjari1 atau yang dikenal juga dengan nama Datu Kalampayan, seorang ulama besar di Kalimantan Selatan. Pada tahun 1859 Syeikh H. Abbas yang berasal dari Martapura dan pernah mengikuti perjuangan Pangeran Antasari itu bermukin dan menjalankan dakwah Islam di daerah Wasah Hilir.
Lama-kelamaan, karena semakin bertambah banyak jumlah pengikutnya, Syeikh Abbas berkeinginan untuk membangun masjid menggantikan surau kecil yang biasa digunakannya berdakwah. Surau kecil itu kemudian dibongkar dan bahan-bahannya yang masih bisa dipakai tetap digunakan untuk membangun masjid baru yang direncanakannya itu. Sedangkan, untuk proses pelaksanaan pembangunannya diserahkan kepada kemenakannya, yakni Syeikh H.M. Sa’id yang berasal dari daerah Kandangan. Kemudian, Syeikh Sa’id mengajak H. Banan (Kepala Desa Wasah Hilir), H. Sahak (Penghulu Wasah Hilir), lima khatib Wasah Hilir, dan para pemuka masyarakat Wasah Hilir untuk merembukkan biaya pembuatan masjid baru itu. Dalam musyawarah tersebut dicapailah kesepakatan bahwa biaya pembangunan 50% berasal dari masyarakat Wasah Hilir dan sisanya dari Syeikh Sa’id dan Syeikh Abbas sendiri. Pembangunan masjid dilaksanakan secara gotong-royong oleh kurang lebih 15 tukang, dua orang diantaranya adalah ahli ukir/pahat dari Candi Agung (Amuntai), suatu daerah yang cukup intensif menerima pengaruh unsur budaya Hindu di masa-masa sebelumnya.
Apabila ditinjau dari segi usianya yang telah lebih dari 50 tahun, maka Masjid Su’ada dapat dimasukkan ke dalam kategori benda cagar budaya yang harus dilindungi dan dilestarikan, sebagaimana yang disyaratkan dalam pasal I (1)a. UU No. 5 Tahun 1992 tentang Benda Cagar Budaya.

Data Bangunan

Arsitektur Masjid Su’ada secara umum memperlihatkan penerapan konsep rancang-bangun rumah tradisional Kalimantan Selatan, yaitu beratap tingkat tiga yang berakhir dengan momolo/pataka dan didirikan di atas tiang (rumah panggung). Sebagian besar bangunannya terbuat dari kayu ulin yang berasal dari daerah Marahaban dan Negara.
Di dalam bangunan utama terdapat sebuah bangunan pengimaman (mihrab) yang beratap kuncup bawang dan memiliki ambang pintu yang berbentuk lengkung. Pada mihrab ini terdapat dua panil tegak (di sisi lengkung) dan panil datar (di atas ambang pintu) yang penuh dengan pahatan bermotif floralistik dan terutama sulur-sulur daun.
Tidak jauh dari mihrab terdapat sebuah mimbar tempat berkhotbah. Mimbar tersebut dipenuhi dengan hiasan ukiran berupa sulur-suluran, kelopak bunga dan arabesq yang di stilir. Pada bagian tengah hiasan suluran dan kelopak bunga itu terdapat ukiran kaligrafi Arab bergaya Naskhi dan angka tahun 1337H/1917 M. Sedangkan, pada salah satu panil samping di dekat tempat duduk pada mimbar, terdapat ukiran kaligrafi bergaya Naskhi yang berbunyi: “Allah Muhammad Rasulullah”.
Kelengkapan masjid lainnya adalah sebuah tonggak penunjuk waktu sholat yang terletak di sebelah selatan bangunan. Pada tonggak penunjuk waktu tersebut dipahatkan angka tahun 28 Zulhijjah 1328 H/1907 M yang menunjukkan tahun dibangunnya masjid. Selain itu, terdapat juga sebuah guci keramik yang ditempatkan dekat tangga naik ke teras. Dan, untuk keperluan berwudlu, disediakan sebuah sumur dan bak air tempat wudlu yang letaknya di samping bangunan utama.

Bentuk Bangunan Mesjid

Bentuk bangunan induk masjid su’ada yakni persegi empat, bertingkat tiga, mempunyai loteng menutup gawang/puncah dan petala/petaka yang megah. Semua itu memunyai makna tertentu sebagai berikut:
a. Tingkat pertama mengandung makna Syariat
b. Tingkat kedua mengandung makna Thariqat
c. Tingkat ketiga mengandung makna Hakikat
d. Loteng mengandung makna Ma’rifat
e. Petala/petaka yang megah berkilauan yang dihiasi oleh cabang-cabang yang sdang berbunga dan berbuah melambangkan kesempurnaan Ma’rifat.

Peristiwa Luar Biasa
Banyak peristiwa yang terjadi seolah-olah aneh, tidak rasional tapi nyata ketika akan dan sedang dalam pembangunan masjid tersebut, seperti angin topan bertiup luar biasa keras dan derasnya yang menyebabkan sebatang pohon asam yang besar telah condong sekali akan menimpa rumah Al Allamah Syekh H. M. Said (pendiri masjid Su’ada). Melihat kejadian ini, Al Allamah tersebut mendekati pohon tersebut dan mendorongnya dengan berlawanan arah, maka dengan pertolongan Allah SWT angin topan yang dahsyat itu berbalik arah sehingga pohon asam ini tumbang dan selamatlah ulama tersebut.
Kejadian lain yakni salah satu tiang utama masjid kurang panjang ± 10 cm, sehingga mengalami kesulitan untuk pendirian bangunan masjid. Dengan izin Allah, keesokkan harinya tiang tersebut menjadi bertambah panjang sesuai kebutuhan. Peristiwa lainnya, yakni ditengah perjalanan antara Kalumpang dan Negara, rombongan Al Allamah Syekh H. M. Said kehabisan ikan untuk makan, tiba-tiba seekor ikan besar melompat ke perahu mereka dan akhirnya mereka mempunyai ikan untuk makan bersama. Kejadian lainnya yakni rombongan tersebut pada malam hari di perahu tidak bisa tidur karena kenyamukan, tiba-tiba dengan pertolongan Allah SWT, ternyata nyamuk tersebut menghilang, sehingga rombongan Al Allamah Syekh H. M. Said dapat tidur.

catatan:
Sekarang sudah Tahun 2011 (Jadi usia bangunan mesjid ini sekarang lebih kurang 103 tahun). Yang menjadi daya tarik dari mesjid ini adalah bentuk bangunan dibuat pangggung atau dalam bahasa banjar b_angkat. sangat berbeda dari mesjid-mesjid lain nya yang kebanyakan lantai nya di buat menyatu dengan tanah.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar